Banyak hal yang kurindukan tentang Bali, karena ada beribu alasan untuk kembali. Seperti biasa di bulan April sebelumnya, kami sekeluarga selalu menghabiskan waktu sepekan di pulau ini. Untuk alasan yang semoga tak terjadi lagi dalam puluhan tahun nanti, akhirnya kami memutuskan untuk tak berangkat ke Bali April ini. Kami di rumah saja, bersama dengan anak-anak dan keluarga. Ini adalah postingan yang tertunda. Sengaja kutulis kembali agar dapat membawa pikiran dan hatiku pada suasana Bali.
Apa yang selalu dirindu saat di Bali? Bagiku, lebih dari sekedar hembusan pantai di pagi dan sore hari.

Bali dimulai saat kami mendarat di Ngurah Rai. Melangkah dan berjalan-jalan di sepanjang jalanan Seminyak, Petitenget, Canggu dan Ubud, hingga berlabuh di kamar untuk beristirahat selama beberapa hari ke depan. Biasanya, selama sepekan penuh, kami memilih tinggal di daerah Petitenget, Batu Belig atau Umalas. Lokasi yang tak jauh dari Canggu (area favorit kami), namun juga masih dalam suasana hingar-bingar dan kebisingan kota. Sepi, tapi tak sendiri…


Tak ada yang lebih baik dengan menghabiskan waktu di kala sunset. Jika dulu aku dan suami selalu mencari beach club yang hip, sekarang, pilihan tempatnyapun sudah mulai bergeser ke beach club yang bersahabat bagi anak-anak. Nggak hanya yang jauh dari asap rokok, tapi juga punya ruang yang cukup untuk mereka bermain-main dengan leluasa.
Berdasarkan rekomendasi teman yang cukup lama menetap di Bali, kami mampir ke La Vela Canggu. Bersembunyi di balik rimbunan pohon yang lebat, terpapar dengan hamparan pantai yang sepi, dan tak banyak wisatawan yang mengunjungi. Sepertinya, bahkan kami adalah satu-satunya customer kala itu.


Nothing is more beautiful than seeing how happy these two playing with the sand.
Ternyata Bali nggak cuma menyenangkan untukku dan suami, tapi anak-anakpun setuju. Meski nggak tiap hari, tapi saat ada kesempatan, kami selalu mengajak anak-anak untuk bersantai di tepi pantai — tempat yang sulit untuk didapat di Jakarta. Dulu Kakak sempat takut dan nggak nyaman saat bermain di pantai, tapi seiring dengan pertumbuhannya, sepertinya ia mulai menikmatinya. Sementara itu, Adek sih jangan ditanya lagi! He loves the sand as much as I do.

Tak ada liburan tanpa kuliner. Setuju kan?
Tapi jangan tanya aku apa rekomendasi kuliner hits Bali ya. Karena frekuensi ke Bali kami yang relatif sering dalam beberapa tahun terakhir, biasanya pilihan makanan kami justru berakhir itu-itu saja. Selain cari yang dekat dari villa, kami juga mengunjungi tempat favorit kami sekeluarga. Sekedar berbagi informasi, kami biasanya nggak pernah melewatkan kuliner di beberapa tempat ini:
- Milk & Madu, Canggu. Best for its children’s art.
- Monsieur Spoon. Best for its fresh croissant.
- Milu by Nook, Canggu. Best for its comfort foods.
- Marigold, Canggu. Best for its outdoor playground.
- Folk Pool & Garden, Ubud. Best for its nasi goreng.
- Biku, Petitenget. Best for its affordable price.
- Rivareno, Seminyak. Best for its gelato.
- Mano Beach Club. Best to enjoy sunset without loud music.
- The Lawn. Best for its perfect Canggu sunset.
- Warung Kolega. Best for its food at affordable price.
- Bakudapa. Best for its sop buntut.
- Lawar Kuwir Men Koko. Best for its nasi campur.

Beberapa kali kami selalu pulang membawa lukisan dari underrated artists.
Tak hanya memastikan aku dan suami yang happy, tapi anak-anakpun wajib untuk menikmati Bali dengan cara yang mereka sukai. Sophia sih paling seneng kalau diajak main ke restoran yang punya indoor dan outdoor playground. Kalau Saladin, ia masih terlalu kecil untuk memutuskan apa yang ia inginkan.
A great finding selama kita di Bali adalah Milk & Madu dan Marigold, dimana keduanya sama-sama berdekatan dan berada di daerah Canggu.
Tak hanya menyediakan tempat bermain dan peralatannya, kedua restoran ini juga menyediakan staff dewasa pendamping bermain, sehingga seluruh aktivitas anak-anak akan diawasi dan difasilitasi — mulai dari kelengkapan prakarya, alat-alat musik dan permainan tanpa gadget lainnya.
Mungkin terlalu banyak cerita dan kata yang bisa dirangkai untuk Bali. Sebaliknya, tak mudah untuk menuangkannya melalui foto dan tulisan agar cukup untuk menggambarkan luapan kerinduan dan kebahagiaan kami tentang Bali.
Tiap ke Bali untuk mengulang aktivitas yang sama, selalu saja ada teman atau keluarga yang bertanya, “Emang nggak bosen?” Jawabannyapun masih sama, “Engga!” Entah apa yang akan membuat kami berhenti mencintai Bali. Sepertinya mustahil akan ada. Bahkan, hingga saat ini kami belum berhenti bermimpi untuk kelak bisa tinggal di sana. Akan tiba waktunya, tapi bukan sekarang nampaknya.

Siapa di sini yang juga sama seperti kami, terus menghitung hari hingga selesainya pandemi, agar bisa segera dipertemukan kembali dengan Bali? 🙂
~ Salsabila Maharani Boekoesoe