Sejak menikah, aku dan suami sempat beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal. Saking seringnya, lebih baik aku jelasin dulu ya:
- Delapan bulan sejak menikah (lalu kemudian hamil), aku dan suami tinggal berdua di “apartemen bujang” suami. Kenapa disebut “apartemen bujang”, karena ukurannya kecil (hanya 33m2) dan lebih pas saat dulu ditinggali sendiri oleh suamiku. Hehehe.
- Sepuluh bulan selanjutnya (jelang lahiran hingga Sophia lahir), kami numpang tinggal sementara di rumah orang tuaku.
- Rindu tinggal sendiri — kamipun akhirnya kembali ke “apartemen bujang” suamiku selama lebih kurang 7 bulan. Saat Sophia sudah bisa jalan dan makin aktif, kami merasa: we need to move to a much bigger place to grow this family. This space no longer feels comfortable!
- Sebelum akhirnya kami pindah ke rumah yang kami huni sekarang (baca di sini) — sambil menunggu proses renovasi yang lumayan panjang (hampir 1 tahun) — kamipun numpang lagi di rumah orang tuaku.
Bulan lalu, Oktober 2018, resmi kami hidup mandiri (lagi) di rumah baru. Terlena karena banyak ini-itu yang selama ini (tanpa kita sadari) nebeng orang tua, kami baru sadar betapa besarnya pengeluaran yang harus dirogoh dalam beberapa minggu terakhir. Keluar dari rumah orang tua dan tinggal di rumah (yang jauh lebih besar) ternyata terasa cukup berat. Baru tengah bulan, kami defisit secara finansial. Jujur, belum pernah sebokek ini di tanggal belasan. Nggak ada tabungan (kecuali tabungan untuk persiapan lahiran anak ke-2) dan tanpa punya dana darurat. Pheew!
Aku dan suami muter otak, mencari kesalahan apa yang harus kita benahi agar bulan depan nggak terulang lagi. Kenapa aku bilang ini harus cepat dibenahi? Karena kurang dari 2 bulan lagi, anak ke-2 kami akan lahir. Masih banyak sekali kebutuhan yang harus kami beli dan siapkan untuk menyambut kelahirannya.
Kami duduk bareng dan diskusi, hingga akhirnya menemukan beberapa kesalahan yang harusnya bisa dihindari. Mulai dari pengeluaran untuk membayar premi produk asuransi yang salah, hutang yang harus segera dilunasi, dan terakhir: nggak punya dana darurat. Aku jabarkan di bawah ini ya..
Belajar sendiri financial planning untuk keluarga
Beli Produk Asuransi tanpa Kenal Produknya
Apa yang salah? Setelah menikah, aku membuat asuransi individu. Asuransi yang aku miliki ternyata nggak banyak berguna untuk aku (sebagai Ibu Rumah Tangga) dan anak-anakku di masa depan. Asuransi Unit Link Syariah yang aku miliki preminya cukup besar, karena gabungan antara jiwa, kesehatan dan investasi. Realitanya: semua fasilitasnya setengah-setengah. Jika aku sakit, plafon kamarnya kecil. Jika meninggal, uang pertanggungannya juga kecil. Apalagi sebenarnya aku dan anak-anakpun sudah tercover oleh asuransi kantor suamiku (meskipun pagunya nggak besar).
Dengan premi yang sama (atau jauh di bawahnya), jika aku hanya membeli asuransi kesehatan murni — proteksi yang aku dan Sophia terima akan berkali-kali lipat lebih baik. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajukan penghentian polis. Lebih baik rugi sekarang, daripada harus rugi yang lebih besar di kemudian hari. Sekarang, kami sedang huntingasuransi apa yang pas untuk aku, Suami dan anak-anak.
Menganggap Tabungan adalah Dana Darurat = Salah
Selama ini aku selalu berpikir bahwa dana darurat adalah tabungan, padahal ini adalah pemikiran yang sangat salah. Kenapa? Jadi gini.. aku dan suami selama ini membuat tabungan untuk tujuan tertentu, misalnya: liburan ke luar negeri, beli HP baru, atau seperti yang sekarang sedang fokus kita lakukan, yaitu menabung untuk persiapan lahiran anak ke-2. Lalu apa yang terjadi setelah tujuan tercapai? Yup, uang kami kembali 0 rupiah! Saat (amit-amit) ada keperluan mendadak atau musibah, kami lagi-lagi harus gesek kartu kredit. Ujungnya: berhutang (dan membayar bunga Bank).
Belum Memisahkan antara Tabungan Jangka Panjang & Jangka Pendek
Jujur aja, hal ini nggak pernah aku pikirkan sebelumnya. Selama ini yang kami pikirkan hanya 1: kalau punya uang ya ditabung. Sesederhana itu. Tanpa sadar, 2 tahun lagi Sophia harus sekolah. Aku ingin dia sekolah di TK yang bonafit. Setelah dihitung-hitung, ternyata mahal banget (belum lagi jika mempertimbangkan inflasi harganya tiap taun). Panik, gimana caranya? Haruskah kita membuat Tabungan Pendidikan? Asuransi pendirikan? Atau reksadana? Hmm, kami harus segera memikirkannya sekarang juga — ini bukan hal sederhana.
Sekarang, aku dan suami sadar, financial planning itu nggak semudah itu. Kami harus segera berbenah! Aku dan suami harus mengumpulkan pundi-pundi kecil mulai sekarang. Berhemat, menabung, berinvestasi dan sebagainya. Semoga kami nggak jadi orang tua ceroboh, hingga harus membebani anak-anak kami kelak dengan hal-hal yang harusnya nggak mereka pikirkan.

Doakan kami sukses merancang financial planning kita untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan ya. Kalau nggak sekarang, kapan lagi.