Ramadhan, Campak dan Pulang Kampung

Foto

Setelah hampir satu setengah bulan tidak menulis, akhirnya aku menyempatkan waktu lagi untuk berbagi cerita. Ramadhan tahun ini bisa dibilang Ramadhan paling “meriah” dalam hidupku. Mengapa? Pertama, ini adalah Ramadhan perdana kami bersama Sophia. Kedua, suamiku terkena campak (and it was very awful) dan Sophia sempat demam sangat tinggi karena hampir tertular Bapaknya. Ketiga, aku dan Sophia pulang kampung. Yeay, akhirnya aku punya kampung juga (meskipun kampung Suami sih). Maklum, sebagai warga Betawi asli, aku sudah menghabiskan 26 tahun lebaran di Jakarta – so, it’s always been the same lebaran every year.

Ramadhan Perdana Bersama Sophia

Ramadhan bersama Sophia cukup menyenangkan. Hampir setiap pagi Sophia ikut bangun dan menemani kami sahur. Saat aku & suami sahur, Sophia biasanya ikutan nyemil. Ngomongin tentang puasa, setelah berdiskusi dengan Dokter Anak tentang pro dan kontra puasa bagi Ibu menyusui, aku akhirnya memilih untuk mencoba berpuasa.

Sedikit berbagi ya, karena mungkin ada yang bertanya: Apakah Ibu menyusui boleh berpuasa? Apakah puasa berpengaruh terhadap kuantitas ASI? Jawabannya tergantung kondisi para Ibu masing-masing. Kebetulan saat ini Sophia tak lagi ASI eksklusif (karena sudah lewat 6 bulan), sehingga sudah campur MPASI. Jika tetap ingin berpuasa, Dokter Anakku memberi saran untuk mengatur pola makan & menyusui anak, sbb:

  • 08:00: ASI.
  • 10:00: Sarapan (bubur atau nasi tim).
  • 12:00: Snack siang atau buah-buahan.
  • 14:00: Makan siang (bubur atau nasi tim).
  • 16:00: Snack sore atau buah-buahan.
  • 18:00: Makan malam (bubur atau nasi tim).
  • 20:00: ASI.

Setiap sedang berpuasa, aku selalu kontrol ASIku. Aku pastikan sahur yang cukup, dan berbuka puasa yang begizi. Jika aku merasa ASIku sangat sedikit (sehingga Sophia jadi cranky), aku putuskan untuk membatalkan puasa.

Suamiku Kena Campak tepat di Hari Ulang Tahunnya

Tepat di hari ulang tahun suamiku, 16 Juni (10 hari menjelang lebaran), ia mengeluh tidak enak badan, radang tenggorokan katanya. Tiga hari kemudian, sakitnya tak kunjung reda dan bahkan diiringi demam tinggi dan ruam di badan. Siang itu juga aku dan suami berangkat ke Rumah Sakit untuk ambil darah dan melakukan pemeriksaan lanjutan. Ternyata kecurigaanku benar – ia terkena campak. Ada-ada saja, padahal tepat keesokan harinya kami ada flight pagi ke Malang untuk pulang kampung. Dokter melarang kami travelling. Istirahat! Wajib!

Apa jadinya jika aku harus menelpon orang tua kami dan memberi tahu kabar ini, di saat mereka sudah tak sabar menunggu kepulangan kami? Akhirnya kami nekat untuk: TETAP PULANG KAMPUNG. Sepulang dari Rumah Sakit, kami ke apartemen. Aku meminta suamiku untuk tidur di kamar, istirahat semaksimal mungkin, banyak minum dan makan cukup (meskipun ia sangat kehilangan nafsu makannya). Aku jugling seorang diri untuk mengurus suamiku yang terkapar, anakku yang rewel, sembari packing 2 koper besar pakaian dan peralatan anak untuk mudik esok hari.

Kenali Campak, Gejala dan Pengobatannya

Campak adalah infeksi virus yang ditandai dengan munculnya ruam di tubuh. Ingat ya, campak sangat menular. Gejalanya tidak langsung, tapi beberapa hari setelah virus masuk ke dalam tubuh, diantaranya:

  • Mata merah dan menjadi sensitif terhadap cahaya.
  • Pilek, radang tenggorokan, dan hidung tersumbat.
  • Demam hingga lebih dari 39 derajat.
  • Bercak putih/abu-abu pada mulut dan tenggorokan.
  • Setelah 4-5 hari, mulai muncul bercak merah di seluruh badan (ruam halus dan bukan seperti cacar air).

Virus campak ada di dalam percikan cairan (ludah, bersin atau batuk) dan bisa menulari siapa pun yang menghirup percikan cairan ini. Meskipun umumnya menjangkit balita, orang dewasa juga tidak luput dari virus ini saat daya tahan tubuh lemah.

Pengobatannya tegolong sederhana. Suamiku diberikan:

  • Antivirus campak.
  • Antibiotik.
  • Obat demam 600mg.
  • Obat flu dan pilek (Rhinos).
  • Obat batik tidak berdahak.
  • Multivitamin komplit.

Beberapa jam setelah minum obat, suamiku selalu meminum air kepala hijau yang masih segar, serta campuran kunyit dan madu. Seminggu kemudian, ruam di badan suamiku mulai berubah warna menjadi hitam (menggelap) – hingga akhirnya mengelupas membentuk jaringan kulit baru. Perlu waktu 2-3 minggu hingga akhirnya keseluruhan jaringan kulit menjadi normal. Jadi, harus cukup sabar menunggu hingga sembuh total ya.

***

Life has always been full of surprises. Jika diingat-ingat lagi, tepat setahun yang lalu, sesaat setelah lebaran, aku yang terkapar di Rumah Sakit dijaga oleh suamiku (baca di sini). Tahun ini, sesaat menjelang lebaran, suamiku yang terkapar di rumah dan aku yang harus menjaganya. Tahun-tahun selanjutnya, insha Allah tak akan ada lagi cerita minor di lebaran-lebaran kami. Aamiin, finger crossed!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.