This is going to be a painful story to remember, or even more painful to write it down. Tanpa terasa, aku menitikkan air mata (lagi) saat aku menulis kembali kisah ini.
***
Kisahku bermula di sebuah Sabtu pagi, 9 Juli 2016, 3 hari setelah suka cita lebaran tahun lalu. Ini adalah lebaran pertamaku dengan suami, serta sang calon jabang bayi. Aku dan suami berencana untuk menghabiskan pagi di atas tempat tidur, beristirahat, karena capek yang luar biasa. Lebaran baru saja usai dan saatnya kami me-recharge kembali energi yang nyaris habis gara-gara agenda silaturahmi.
Saat itu kehamilanku sudah memasuki minggu ke-29 atau 7 bulan. Menurut beberapa orang, 7 bulan artinya hamil tua, sedangkan 8 bulan artinya hamil muda. Katanya lagi, lebih baik brojol di usia kehamilan 7 bulan daripada di usia kehamilan 8 bulan. Faktanya? Tak ada yang lebih baik dari melahirkan sesuai dengan due date-nya. Percayalah.
Awal Dari Mimpi Buruk Kami
Pagi itu, seperti layaknya suami-istri, kami berhubungan intim. Well, sebenarnya sih off the record lah ya, tapi terpaksa harus diceritakan karena hubungan intim tersebut adalah awal dari semua kisah ini. Selama ini, kami meyakini bahwa kehamilan nggak seharusnya mengganggu kehidupan seksual suami-istri, meskipun sudah sewajarnya untuk lebih berhati-hati. Namun apa daya, bahkan ketika sudah berhati-hati sekalipun, musibah bisa saja terjadi.
Sesaat setelah selesai berhubungan intim, kamipun membersihkan diri. Di saat itu pulalah seketika aku berhenti. Aku melihat sebercak darah merah. Aku kembali membersihkan diri, dan Masha Allah, ternyata ada banyak sekali darah. Tanpa sadar ternyata bercak darah itu juga menodai selimut kami. Aku bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil, dan betapa paniknya aku ketika melihat (maaf) air seniku berubah menjadi merah padam. Suamiku memaksaku untuk langsung menuju Rumah Sakit, namun aku berusaha untuk menenangkan diri, “Kita tunggu sampai 1 jam kedepan.” Aku lalu mengenakan pembalut. “Kalo masih ada darah, kita langsung ke Rumah Sakit,” lanjutku.
Satu jam kemudian, ternyata tak ada darah pada pembalutku. Kami mulai tenang dan sarapan. Selesai sarapan, aku kembali buang air kecil dan masih melihat air seniku berwarna kemerahan. Aku tak bisa lagi menunggu. Kamipun bergegas menuju RSIA Asih dan meluncur ke UGD karena nggak ada jadwal praktek selama libur Idul Fitri. Bad news never has a good timing, does it?
Setibanya di UGD, kami langsung dibawa ke ruang observasi untuk melakukan rekam jantung bayi (CTG) dan tingkat kontraksi. Leganya aku ketika tahu Dokter kami (Dr. Musa Soebiantoro) ternyata tak sedang cuti. In fact, ia baru saja selesai membantu proses persalinan normal. Setelah memeriksa hasil CTG-ku, tanpa berpanjang lebar, ia langsung meminta suster untuk memberikan obat penguat paru untuk bayiku, agar paru-parunya sudah siap jika bayi terpaksa dilahirkan. Ia juga memintaku untuk bed rest di Rumah Sakit sambil diberikan obat anti kontraksi melalui infus (Hystolan) karena ternyata sudah terjadi kontraksi dini yang cukup tinggi di rahimku. Harapannya, dengan bed rest kontraksiku akan berangsur-angsur menghilang.

Hari-Hari Kami di Rumah Sakit
Sabtu sore itu, aku dipindahkan dari UGD ke kamar rawat inap. Keluargaku mulai berdatangan dan kamipun (dengan malu-malu) menceritakan kronologis pagi itu. Selama dirawat, aku dilarang bergerak atau duduk. Segala aktivitas harus dilakukan dengan berbaring, mulai dari makan, buang air kecil, atau bahkan buang air besar. Malam pertamaku ditemani oleh suamiku yang lelah tertidur di sofa bed tepat disamping ranjangku. Aku nggak bisa tidur. Hatiku gelisah dan jantungku berdebar, “Sedang apa kamu di dalam perut Ibu, Nak? Kamu baik-baik saja, Kan?”
Keesokan harinya, Dokter mengganti infusku dengan Duvadilan. Kabar baiknya, obat ini ternyata tak menyebabkan debar jantung seperti Hystolan. Kabar buruknya, Dokter masih belum mengizinkanku pulang karena hasil CTG masih menunjukkan kontraksi yang belum stabil. “Tambah 1 malam lagi ya,” Kata Dokter Musa.
Hari ketiga di Rumah Sakit, suamiku memutuskan untuk mengambil cuti. Ia berasumsi aku akan pulang hari ini, jadi pasti akan ada banyak hal yang harus diurus. Sebelum pulang, seperti biasanya, aku cek CTG lagi. Hasilnya? Tak banyak perubahan. Kontraksiku masih tinggi, bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Aku mulai putus asa, aku selalu nervous setiap akan melakukan CTG. Aku mengeluh pada suamiku, karena aku merasa kontraksi yang timbul disebabkan oleh ketakutanku terhadap alat CTG. Aku takut karena hasil CTG adalah indikator utama yang menentukan kepulanganku – sehingga tiap kali CTG dilakukan, ada harapan yang begitu kuat untuk bisa cepat pulang.

Hari Kesekian, Dan Tak Kunjung Membaik
Suamiku harus kembali ngantor. Dia tak bisa cuti terus-menerus. Selama suamiku bekerja, adikku biasanya menemaniku di Rumah Sakit (orang tuaku biasanya baru datang pada sore hari dan pulang pada malam hari). Setiap pagi, aku harus menghadapi alat CTG. Hingga suatu hari, entah hari keberapa (aku sudah mulai hilang hitungan) alat CTG berbunyi keras dan kontraksiku melambung tinggi. Aku seketika menangis tak sanggup melihatnya. Aku mulai putus asa dan nggak mau melanjutkan tes CTG hari itu karena aku tau bahwa aku nggak bakalan diizinkan pulang.
Perasaanku campur aduk antara bosan, putus asa, sedih, dan kekhawatiran yang datang bersamaan. Belum lagi kami harus memikirkan biaya yang akan kami habiskan selama menjalani proses pengobatan ini. Tabungan kami mulai menipis. Aku yang waktu itu masih bekerjapun mulai dibanjiri telepon dari client. Semua pekerjaanku terbengkalai dan tanggung jawabku terhadap perusahaan sama sekali tak bisa dipenuhi. Hilang sudah semua rencana-rencanaku untuk berbelanja kebutuhan anakku kelak.
Merasa tidak ada kabar baik dari Rumah Sakit, akhirnya, sore itu aku memaksa suamiku untuk menemui Dokter Musa yang sedang praktek di Poliklinik Kebidanan. Aku ingin tau, apa sebenarnya yang terjadi padaku? Aku ingin tau, apa yang sedang Dokter Musa rencanakan untukku? Aku tak sabar menanti suamiku kembali, untuk mendengar apa yang disampaikan Dokter Musa kepadanya. Ketika kembali, suamikupun menjelaskan dengan tenang atas apa yang terjadi kepadaku. Saat itu, suamiku hanya menjelaskan bahwa Dokter ingin mencegah terjadi kelahiran prematur. Ia ingin menjaga bayiku agar selama mungkin berada di dalam rahim – maka itulah sebabnya aku belum diizinkan pulang hingga sekarang. Menurutnya, mengobati ibu yang sakit akan lebih mudah (dan lebih murah) daripada mengobati bayi yang terpaksa terlahir prematur.
Oh well, mau tak mau, aku harus rela untuk tinggal lebih lama lagi di sini, hingga aku akhirnya dinotbatkan sebagai Ibu RT di Rumah Sakit karena sudah menjadi pasien terlama yang menginap di sini.

Hari Ke-12 dan Izin Kepulangan
Di tengah keputusasaan, kontraksiku ternyata berangsur-angsur mereda. Bahkan sejak beberapa hari lalu, aku sudah boleh lepas infus tanpa diberikan obat anti kontraksi. Hingga tepatnya pada hari Kamis, 21 Juli 2016, untuk pertama kalinya hasil CTG-ku memperlihatkan kontraksi yang telah hilang secara menyeluruh, signifikan dan stabil. Dokterpun cukup terkejut dan turut berbahagia karena hal ini jarang terjadi. Akupun (akhirnya) diizinkan untuk pulang, meskipun pulang yang dimaksud adalah istirahat total di rumah hingga minimal 2 minggu kemudian. Selama di rumah, aku tetap disarankan untuk berbaring, nggak boleh naik-turun tangga, dan sebagainya.
Ternyata, Ada Yang Belum Diceritakan Kepadaku
Beberapa minggu setelah kepulanganku dari Rumah Sakit, ketika aku sudah benar-benar fit dan akhirnya kembali bekerja (setelah lebih dari sebulan izin kantor), suamiku menceritakan apa yang sebenarnya telah disampaikan oleh Dokter Musa saat aku memintanya untuk menemuinya. Kalimat yang sekian lama ia rahasiakan, demi menjaga perasaanku kala itu.
“Pak, kalau bapak tanya sampai kapan istri bapak dirawat, kemungkinan besar jawabannya adalah: ia tak akan pulang. Cepat atau lambat, bayi yang dikandung oleh istri Bapak akan lahir. Ada pasien yang mampu bertahan hanya 1 minggu, ada pula yang mampu bertahan hingga 1 bulan. Pada akhirnya, bayi ini akan lahir. Kontraksi ini sedang meremas janin untuk keluar dari rahim ibunya. Sekarang, tugasmu adalah menyampaikan dengan baik kepada istrimu agar dia tetap semangat.”
Sungguh bukanlah jawaban yang ia bayangkan sebelumnya. Suamikupun penasaran. Jika sudah tau bayi ini akan lahir, kenapa tak sekalian saja dilahirkan? Toh ada banyak kasus bayi prematur yang bisa bertahan. Dokter Musa-pun memberi jawaban yang masuk akal.
“Sebagai Dokter, tugas saya adalah menjaga bayi untuk berada selama mungkin di kandungan ibunya. Menjaga bayi di dalam rahim jauh lebih mudah, lebih baik, dan lebih murah daripada menjaga bayi di dalam NICU. Dalam hal perbandingan biaya, merawat bayi prematur minimal 2x lipat lebih mahal dibandingkan biaya merawat istri bapak sekarang. Lebih baik, saat ini kita semua berdoa agar bayi ini terus bertahan sampai waktu dan berat badannya cukup untuk dilahirkan.”
Kesedihan suamiku tak terbendung. Dia nggak tau harus mengatakan apa padaku agar aku lebih bersabar dan mau bertahan lebih lama lagi di Rumah Sakit untuk bayi ini. Dia juga bahkan nggak sanggup melihat wajahku karena takut aku kecewa mendengar apa yang disampaikan oleh Dokter. Hal ini pulalah yang menyebabkan suamiku tak menceritakan seluruh ucapan Dokter Musa kepadaku. Pantas saja, di malam ketika Suamiku bertemu dengan Dokter Musa, keluarga kami langsung menelpon beberapa Rumah Sakit untuk menanyakan ketersediaan peralatan NICU yang dapat kami sewa.
Tak heran, kepulanganku di hari itu menjadi salah satu hari terbahagia suamiku. Tak pernah terlintas sedetikpun di benaknya aku akan kembali lagi kerumah. Sejak saat itu, suamiku dan seluruh anggota kelurgaku menjagaku dengan sangat hati-hati, karena kami berharap, hal itu tak akan pernah terjadi lagi.
Sedikit saran bagi Ibu hamil lainnya, meskipun Dokter mengizinkan untuk melakukan hubungan seksual selama kehamilan – lakukanlah dengan sangat hati-hati. Bukan saja berhati-hati saat hamil muda saja, namun bahkan ketika sudah memasuki due-date-nya. Ingatlah bahwa kalian tak lagi melakukannya berdua, tapi sudah bertiga. Insha Allah, kehamilan kita semua, sekarang atau di masa depan, akan berjalan dengan baik dan dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.
Aq juga sedang flek coklat skrg di kehamilan umur 28 weeks, disaat aq menghadiri Family gathering kantor suamiku. langsung cari dokter kandungan terdekat, diberi histolan 2*1/2, cek usg, cek cervics, alhamdulillah g ada pembukaan, kata dokter kemungkinan besar karna kelelahan dlm sehari itu dan, ada luka di cervics (krn memang sebelumnya aq keputihan), dan kurang minum. Mau tanya mbk, apakah setelah drama pendarahan dan dirawat d rs msh bisa ngantor? Berapa lama diperbolehkan? Treatment apa saja yg dilakukan agar bisa bertahan smp cukup bulan? Apakah msh ada fase harus dirawat lagi stlh dirawat yg ini? Bagi pengalaman ya mbk 🙂
LikeLike
Hallo mbak, dulu aku mengalami pendarahan hebat, darahnya yang mengalirpub darah segar. Aku harus bedrest di rumah sakit karena aku mengalami kontraksi terus menerus. Seingat saya, saya diberikan anti kontraksi melalui infus selama 12 hari dirumah sakit. Setiap 2 hari sekali saya melakukan ctg dan apabila kontraksi nya masih ada, berarti waktu saya dirumah sakit bertambah lagi. Setelah itu, saya melanjutkn bedrest dirumah sampai total waktu istirahat saya sekitar 1 bulan. Akhirnya saya kembali ke kantor karena merasa sudah cukup pulih dan kontraksi tidak datang kembali. Istirahat yang cukup yaa mbaa..
LikeLike
Anak pertama dan kedua aq pun mengalami kontraksi mbk hrs dirawat juga infus duvadilan 3 hari smp 3x , alhamdulillah smua lancar, tp untuk flex coklat ini aq baru ngalaminya, jujur hawatir, tp dokter yg aq kunjungi kmrn g nyuruh rawat inap, cuma kasi obat minum aja. Apakah sblm pendarahan ini pernah mengalami keputihan mbk?
LikeLike
Rani tengkyu ceritanya.. Akupun sedang mengalami hal yg demikian boleh tanya akhirnya kamu lahiran normal apa cesar?
LikeLike
Alhamdulillah, akhirnya aku bertahan sampe minggu ke 37 dan melahirkan secara normal mba 😊
LikeLike
mba… apa yg mba lakuin buat pertahanin janin smpe 37 minggu agar tidak lahir prematur?
karena sy mengalami hal yg sama, dan sungguh mengkhawatirkan… keluar masuk RS tp flek darah tak kunjung berhenti.
LikeLike
Saat kejadia tersebut, saya langsung dilarikan ke UGD oleh suami, dan saat dicek menggunakan alat CTG ternyata sudah mulai ada tanda-tanda kontraksi. Mulai dari hari itu, saya tidak lagi diizinkan pulang oleh dokter dan bed rest di tempat tidur tanpa boleh berdiri sekalipun. Setiap hari saya diinfus anti kontraksi oleh rumah sakit dan setiap 2hari sekali saya selalu di cek CTG untuk cek tingkat kontraksi. Dan baru diizinkan pulang saat kontraksi nya sudah menghilang mba..
LikeLike